Selasa, 03 November 2020

  

 

500 TAHUN REFORMATOR – MEMAHAMI DINAMIKA HUBUNGAN GEREJA KATOLIK ROMA DAN GEREJA PROTESTAN 

oleh Robert B. Baowollo



 

 

Pengantar

 

Pada tanggal 3 Januari 1521 Paus Leo X menjatuhkan hukuman eks-komunikasi terhadap Dr. Martin Luther – seorang imam muda Katolik dari ordo Agustinian (OSA). Hal itu berbuntut panjang menjadi perpecahan Gereja Kristus hingga hari ini. Berbagai upaya dialog oikumenis sudah dilakukan untuk saling mendekati, saling menyapa, untuk saling memahami secara lebih baik agar dapat secara bersama-sama menjahit kembali jubah Kristus yang robek sejak reformasi. 

Pasca-Konsili Vatikan II (1962-1965)[1], terutama dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir, kedua Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Protestan berusaha untuk saling mengenal dan mendalami lebih baik pokok-pokok perbedaan ajaran Gereja yang membuat kedua belah pihak  begitu sulit untuk bersatu kembali. Bagaimana hubungan kedua Gereja itu sekarang?


Tulisan ini ‘meminjam’ kerangka kerja metodologi studi hubungan internasional untuk, secara amat terbatas, memeriksa beberapa isu sentral dalam hubungan antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Protestan sebagai unit analisis. Isu-isu sentral itu berpusat pada dinamika hubungan oikumenis antara Vatikan dengan Gereja-Gereja Lokal (dalam konteks tulisan ini dengan Gereja Katolik dan Gereja Protestan Jerman), hubungan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan Jerman pada level nasional, dan hubungan lintas-komunitas Katolik dan Protestan di Jerman - sebagai level analisis


Untuk itu tema besar hubungan Gereja Katolik dan Gereja Protestan dalam konteks topik reformasi dipersempit (baca: dibatasi) hanya menjadi analisis atas dinamika hubungan kedua Gereja dalam menyikapi Rechtfertigungslehre (doktrin Luther tentang  pembenaran), Verurteilungslehre (doktrin tentang hukuman)dan upaya-upaya oikumenis di antara kedua Gereja pada semua level analisis. Ada level analisis lain yang sangat panas, namun tidak akan dibahas di sini, yaitu posisi para teolog di ‘kubu’ Katolik dan Protestan yang ‘bekerja’ memberi kontribusi, baik untuk mendukung maupun menghambat, bagi upaya-upaya dialogis di jalan oikumene menuju terwujudnya kembali keesaan Gereja Kristus. 


Tulisan ini mengambil fokus pembahasan pada dinamika hubungan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan Jerman, terutama Evangelische-Lutherische Kirche (EKG) di Jerman, dalam kurun waktu 1980-2016 - dan dalam konteks yang amat terbatas - antara Gereja Katolik Keuskupan Amboina dengan Gereja Protestan Maluku dan Gereja-Gereja non-anggota PGI di Maluku dalam kurun waktu 1980-1992. Beberapa pilihan narasi teologis dan historis yang terangkat dalam tulisan ini semata-mata demi kepentingan memperjelas konteks dan dinamika dialog antara kedua Gereja.

 

 

Memahami Luther Muda dan Batu Karang Tua Yang Amat Keras.

 

Mengetahui pokok-pokok perbedaan posisi teologis antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan dalam hal reformasi dan oikumene itu penting dan perlu. Tetapi memahami bagaimana para pihak membahasakan pikiran, sikap, dan perasaan mereka terhadap tema-tema panas seputar perbedaan teologis-historis selama 500 tahun adalah juga sebuah dimensi yang sangat menarik. Demikian pula, memahami psikologi seorang reformator muda Martin Luther dan situasi sosial politik yang memicu pilihan penggunaan bahasa dan sikap konfrontatif dalam memulai reformasi sama pentingnya dengan urgensi memahami jalan pikiran para teolog dan pimpinan bahkan umat kedua Gereja pasca-Luhter di abad 21.


Martin Luther lahir pada tanggal 10 November 1483. Ia ditahbiskan menjadi imam Katolik dalam ordo Agustinian (OSA) oleh Uskup Brandenburg, Hieronymus Scultetus di Katedral Erfurt pada tanggal 3 April 1507 pada usia yang masih sangat muda, yaitu 24 tahun. Setahun kemudian (1508) Luther rmemperoleh gelar sarjana muda dalam studi ilmu Alktab dan gelar sarjana muda lainnya pada tahun 1509. Tiga tahun kemudian, pada tanggal 19 Oktober 1512, Martin Luther memperoleh gelar doktor dalam bidang teologi. Hanya berselang dua hari kemudian (21 Oktober 1512) ia sudah diterima menjadi anggota senat fakultas teologi universitas Wittemberg. Luther menjdi bintang muda yang sedang melejit di orbit teologi saat itu!


Kecemerlangan, ketekunan, dan kesalehan hidup seorang Martin Luther muda membuat ia ditunjuk oleh pimpinan ordo Agustinian menjadi wakil provinsial ordo Agustinian untuk wilayah Sachsen dan Thüringen pada tahun 1515. Artinya, pada rentang usia antara 29 dan 32 tahun Luther muda melejit bagai meteor, baik dalam studi, karir akademik, maupun hidup membiara. Penunjukan dirinya sebagai wakil provinsial ordo Agustinian menunjukkan bahwa ia memperoleh pengakuan keteladanan hidup rohani dalam hidup membiara di usia yang sangat muda.

 

Prestasi akademik dan posisi kepemimpinan dalam ordo Agustinian bagi seorang imam muda amat sarat dengan muatan rasa percaya diri yang tinggi. Faktor percaya diri yang kadang-kadang menjadi ‘terlalu’ tinggi ini kiranya menjadi salah satu dari banyak faktor lain yang membuat Martin Luther amat vokal dalam menyuarakan pandangan teologisnya menantang otoritas Gereja Katolik Roma.

 

Narasi konflik dan dinamika reformasi maupun gerakan oikumene sebagai upaya merajut kembali hubungan antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan pasca-Luther di belakang hari banyak ditentukan oleh faktor psikoligis dan faktor sosial para penggerak perubahan, terutama dalam konteks relasi kekuasaan antara para pemikir bebas seperti Martin Luther yang berhadapan dengan rejim teologi konservatif yang mengawal kekuasaan Gereja yang keras seperti cadas.

 

Pasca era Luther, banyak teolog muda maupun senior yang menghayati kebebasan berpikir sebagai anugerah Roh Kudus yang amat berharga, seperti klaim Martin Luther. Beberapa di antara mereka, khususnya di dalam lingkungan Gereja Katolik, sudah terpental dari barisan teolog Katolik ketika mereka meneriakkan reformasi dari dalam, baik dalam bentuk kritik terbuka terhadap otoritas Gereja Katolik maupun sekedar menyatakan pikiran dan pendapat teologis yang tidak sejalan dengan posisi standar Gereja, melalui buku atau pengajaran dalam perkuliahan. Fenomena yang sama juga cukup jamak dialami para teolog (muda) di lingkungan Gereja Protestan.


Sejumlah teolog Katolik papan atas abad 20 dan 21 yang amat kritis terhadap otoritas Gereja Katolik Roma pun diberi lebel dissident. Sebagian dari mereka dikenai hukuman bervariasi, mulai dari penarikan jabatan professor teologi (theologische Lehrstuhl) dan larangan mengajar, pemecatan dari keanggotaan ordo, atau larangan menjalankan tugas dan fungsi sebagai imam, hingga berlanjut dengan hukuman eks-komunikasi. Beberapa diantaranya karena terang-terangan menantang doktrin infalibilitas (Unfehbarkeit) Paus dan/atau menabrak sejumlah ajaran fundamental Gereja Katolik lainnya. 


Beberapa di antara para teolog progresif “pembangkang” itu adalah Jon Sobrino, Joaquín Sáenz Arriaga, Hans Küng, Leonard Edward Feeney, Eugen Drewermann, Paul Collins, Ernesto Cardenal, Leonardo Boff, dan lain-lain. Rata-rata mereka menjadi korban konservatisme Gereja di bawah pengawasan Kardinal Joseph Ratzinger (kelak menjadi Paus Benediktus XVI) yang saat itu menjadi pimpinan Sacra Congregatio de Propaganda Fide – sebuah lembaga sensor dan pengawas ajaran iman Katolik. Ratzinger sendiri sering dijuluki ‘herder Vatican’ karena kegalakannya dalam menangani teolog-teolog yang membandel.

 

 

Reformasi dan Awal Hubungan Tak Bersahabat itu

 

Suatu ketika Martin Luther muda dalam kapasitasnya sebagai guru besar teologi moral di universitas Wittemberg menulis surat kepada uskup Mainz Mgr. Albertus sebagai atasannya di lingkup Gereja lokal. Dalam surat itu Luther menyampaikan protes terhadap kampanye penjualan surat pengampunan dosa oleh utusan Roma, Johannes Tetzel, seorang imam Dominikan yang juga menjadi anggota Komisi Kepausan untuk Pengampunan Dosa. Tetzel saat itu sedang dalam misi menggalang dana di Jerman bagi pembangunan Basilika Santo Petrus di Roma.

 

Dalam surat protes yang dialamatkan kepada uskup Mainz, Luther melampirkan juga satu copy tesis akademiknya yang kemudian dikenal sebagai Sembilan Puluh Lima Tesis yang tak lain berisi poin-poin Perdebatan tentang Kuasa Indulgensi (Disputatio pro declaratione virtutis indulgentiarum). Tesis tersebut merupakan kumpulan pikiran Martin Luther sebagai teolog dan yang hendak diajukan sebagai materi pembahasan dalam debat-debat akademik terbuka – suatu tradisi yang lazim dan tidak bermasalah dalam kultur akademik Jerman, dulu dan sekarang.

 

Persoalan menjadi ruwet ketika pimpinan Gereja setempat justru lebih merasa tertarik pada, dan terprovokasi oleh, tesis yang diselipkan Luther sebagai lampiran surat utamanya dan bukan pada pokok isi surat tuntutannya menyangkut protes terhadap praktek penjualan Surat Pengampunan Dosa. Pimpinan Gereja Katolik, mulai dari Jerman hingga Roma terguncang oleh isi tesis Luther. Padahal Luhter sendiri bahkan tidak menganggap tesisnya itu, sebagian atau seluruhnya, sebagai sesuatu yang fundamental dalam gagasan dan genderang reformasi yang ditabuhnya. 

 

Namun demikian, kritik dan argumentasi Luther dalam tesis akademik ini, juga perang argumentasi dan perang kata-kata kemarahan yang ikut mewarnai polemik ini dalam tahun-tahun sesudahnya, telah membawa nasibnya ke depan sidang otoritas Kuasa Mengajar Gereja Katolik Roma. Roma lalu menjatuhkan hukuman eks-komunikasi bagi Martin Luther pada tanggal 3 Januari 1521[2].


Sejumlah peneliti (sejarah) Luther secara khusus mencermati bunyi tesis no 86 dan menganggap bunyi tesis tersebut memang merupakan provokasi yang melampaui batas-batas norma tatakrama komunikasi dalam Gereja dan melanggar ikrar kaul ketaatan seorang imam Katolik. Para petinggi Gereja berang atas kelancangan sikap seorang teolog muda yang tidak menaruh hormat kepada otoritas Gereja yang selama itu tak pernah dibantah oleh siapapun.

 

Tesis no 86 itu berbunyi: "Mengapa Paus yang memiliki kekayaan melampaui kekayaan seorang Crassus yang amat kaya raya itu, kini (mau) membangun Basilika Santo Petrus dengan uang dari umat beriman yang miskin, dan mengapa bukan dari uang miliknya sendiri?”[3]


Sikap kritis Martin Luther muda – juga para teolog refomis sesudahnya -– yang berani menantang ortoritas Gereja Katolik Roma yang tidak terjamah siapa pun, termasuk doktrin infalibilitas[4]Kuasa Mengajar Gereja, adalah radar analitis-kritis yang harus aktif bekerja di kepala siapa pun dalam mengamati dinamika hubungan Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan sepanjang sejarah: untuk memahami sikap Luther dan para pendobrak reformasi lainnya, juga memahami sikap Gereja Katolik Roma yang konservatif-defensif dalam melakoni dialog-dialog oikumenis menuju terwujudnya Penyatuan Kembali Gereja Kristus.


Sayangnya, sejarah Gereja tidak saja menangisi perpecahan dan Perang Petani 30 Tahun sebagai ekses reformasi yang berdarah-darah, tetapi juga mencatat dan mengarsipkan dengan amat baik ujaran-ujaran kebencian yang kadang amat brutal dari kedua kubu yang berseberangan – sebagai collective memory. Ujaran-ujaran kebencian dan tidak bersahabat lainnya itu justru dirawat untuk kemudian diungkit mana kala perlu – termasuk di saat-saat Gereja Katolik Roma dan Gereja Evangelis-Lutheran sama-sama berusaha saling mendekati. Ujaran-ujaran tersebut justru muncul sebagai sikap konservatif pada kedua pihak, baik dalam rangka menolak mutlak maupun untuk menawar berbagai formula teologis bagi gagasan penyatuan kembali Gereja Kristus. 

 

 

Konsili Oikumenis Trente 1545–1563 dan Dinamika Awal Upaya Memulihkan Hubungan Yang Retak 

 

Setelah menjatuhkan hukuman eks-komunikasi terhadap Martin Luther pada tahun 1521 Gereja Katolik membutuhkan waktu tidak kurang dari 24 tahun untuk menyelenggarakan sebuah konsili oikumenis di Trente, Italia. Konsili tersebut berlangsung dalam tiga tahap (tahun 1545-1547, 1551-1552, dan 1562-1563) untuk menjawab berbagai isu mencegah perpecahan lebih lanjut.


Rencana pelaksanaan Konsili Trente sebelum tahun 1545 tidak berjalan mulus. Hal ini terutama disebabkan oleh sikap politik para Paus, polarisasi kuria Vatikan yang menghasilkan perbedaan sikap antara kelompok uskup-uskup Italia dan non-Italia, juga boikot negara Prancis yang saat itu menjadi bagian dari Kekaisaran Suci Romawi dan memiliki hak politik dalam menyetujui dan mendukung pelaksanaan sebuah konsili.

 

Pelaksanaan konsili tahap pertama (1545-1547) diwarnai penolakan dari para peserta konsili terhadap ajakan Paus untuk sebuah rekonsiliasi dengan kalangan Protestan. Para peserta konsili kuatir Paus akan tersudutkan dalam rencana konsili tersebut. Pada pelaksanaan konsili tahap kedua (1551-1552) para peserta konsili menolak intervensi Kaisar Karel V. Campur tangan Karel V dinilai akan menghambat perbincangan doktrinal yang akan dirumuskan untuk melawan para pengikut Protestan.


Pelaksanaan konsili tahap ketiga (1562-1563) merupakan usaha terakhir untuk mengadakan rekonsiliasi antara Gereja Katolik Roma dengan kubu Protestan. Usaha ini gagal total. Pihak Katolik dan Protestan terus tenggelam dalam konflik berkepanjangan. Konsili ini bahkan berlangsung di bawah ancaman perang dari pihak Protestan. Kaisar Karel V yang sedianya menjamin keamanan penyelenggaraan konsili malah ditangkap oleh pihak Protestan. Situasi ini membuat Paus dan para uskup yang sedang bersidang menghentikan konsili dan meninggalkan Trente. Setelah itu, Gereja Katolik Roma membutuhkan waktu ratusan tahun lagi untuk mengadakan sebuah Konsili Oikumenis berikutnya.

 

 

Dinamika Hubungan Gereja Katolik dan Protestan Jerman pada Abad 21

 

Kebekuan hubungan antara Gereka Katolik Roma dengan Gereja-Gereja Protestan dan Gereja-Gereja Ortodoks berlangsung selama lebih dari empat ratus tahun. Salah satu hambatan utama adalah doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja Katolik Roma tidak ada keselamatan). Doktrin tersebut memiliki makna implikatif bahwa Gereja-Gereja-Gereja non-Katolik Roma diklasifikasi sebagai Gereja yang bukan sarana keselamatan Ilahi.

 

Ketika muncul gerakan oikumene di awal abad 20, Paus Pius XI dalam dokumen Mortalium Animos (1928) masih menganggap gerakan-gerakan oikumene pada saat itu lebih merupakan sebuah bentuk kesesatan lain dari protestantisme dan karena itu ia melarang umat Katolik berpartisipasi di dalam gerakan tersebut.


Kondisi ini kemudian berubah drastis dalam Konsili Vatikan II. Paus Paulus VI atas nama peserta Konsili pada tanggal 21 November 1964 mengeluarkan dekrit Unitatis Redintegratio (juga dikenal sebagai Dekrit tentang Oikumenisme) melalui sebuah proses pemungutan suara dengan hasil mayoritas suara uskup peserta konsili mendukung gagasan penyatuan kembali Gereja Kristus.


Besarnya dukungan tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan paradigmatik luar biasa dalam pandangan dan sikap para pimpinan Gereja Katolik (uskup-uskup) di seluruh dunia, dari sikap konservatif tertutup menjadi terbuka lebar dan siap berdialog dengan Gereja Protestan dan Gereja Ortodox – sebagai wujud semangat agiornamento.


Sikap Gereja Katolik secara resmi kemudian diperkuat oleh ensiklik Ut Unum Sint yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Mei 1995. Dokumen ini merupakan petunjuk yang paling jelas tentang sikap Gereja Katolik Roma yang secara aktif mulai bergerak ke arah meja dialog untuk penyatuan kembali Gereja Kristus. Pesan ensiklik ini amat fundamental dalam upaya memahami pesan-pesan dialogis-oikumenis seorang Paus Yohannes Paulus II dalam sejumlah kunjungan pastoralnya ke Jerman sejak tahun 1980an – kunjungan rekonsiliasi historis ke tanah kelahiran sang Reformator, Martin Luther. 

 

 

Isu-Isu Sentral Hubungan Gereja Katolik Roma dengan Gereja Protestan.

 

Isu-isu sentral yang menjadi pembicaraan di antara kedua Gereja yang terpisah adalah masalah Rechtfertigungslehre (ajaran pembenaran) dari Martin Luther dan Lehrverurteilung (hukuman Paus terhadap Luhter karena dianggap sesat), pencabutan hukuman eks-komunikasi terhadap Martin Luther, Oikumene, dan Perjamuan Kudus Bersama (Protestan) atau Perayaan Ekaristi (Katolik), doktrin extra ecclesiam nulla salus dan dokumen Dominus Iesus dengan segala konsekuansinya terhadap pengakuan status Gereja-Gereja Kristen di luar Gereja Katolik.

 

Masalah hukuman eks-komunikasi terhadap Martin Luther tidak dapat dicabut (dengan cara apapun) karena, sesuai dengan pengertiannya,  hukuman eks-komunikasi hanya berlaku selama orang yang dikenakan hukuman masih hidup. Dengan kata lain, hukuman eks-komunikasi bagi Martin Luther berakhir dengan sendirinya pada saat ia meninggal dunia pada tanggal 18 Februari 1546 – pada saat Konsili Trente tahap pertama sedang berlangsung.


Persoalan yang tersisa dari hukuman eks-komunikasi Luther adalah ujaran-ujaran saling mengutuk (Verurteilung) di antara kedua pihak yang untuk konteks kultur komunikasi sosial saat ini harus dibaca dan dicerna dengan kepala dingin, dan dengan pemahaman yang tidak bias, tentang konteks sejarah ‘pada waktu itu’. Tanpa memahami konteks sejarah ujaran-ujaran kebencian di antara kedua pihak 500 tahun lalu, orang bisa tersulut untuk memberi pernyataan dan/atau menunjukkan sikap-sikap permusuhan baru – dan karena itu menjauh dari tujuan gerakan oikumene.

 

Paus Yohannes Pulus II setelah kunjungannya ke Jerman pada tahun 1980 memberi tugas kepada Konferensi Uskup-Uskup Jerman untuk membentuk sebuah komisi bersama yang terdiri dari para teolog dan ahli sejarah Gereja Katolik dan Protestan untuk mendalami semua persoalan terkait Luther dan reformasi. Hasil kerja komisi ini kemudian dikenal sebagai dokumen Lehrverurteilungen-kirchentrennend?


Kelompok studi dari pihak Gereja Protestan kemudian membawa hasil kajian bersama untuk dibahas guna mendapat kesepakatan dan persetujuan di tingkat Dewan Gereja Protestan di Jerman. Berbagai formulasi dan reformulasi hasil studi yang telah diterima oleh otoritas Gereja Protestan Jerman itu kemudian dibawa ke Vatikan sebagai pernyataan posisi resmi Gereja Protestan dalam membaca, memaknai, dan menapaki jalan reformasi bersama Gereja Katolik Roma.


Di dalam laporan studi tersebut Komisi bersama ini berpendapat bahwa Lehrverurteilung (hukuman) terhadap Martin Luther itu dikeluarkan dalam suasana sangat agresif, di mana pada abad 16 kedua pihak saling mengutuk. Kondisi hubungan kedua Gereja seperti itu tidak lagi sesuai dengan realitas dan tuntutan kehidupan Gereja pada hari ini. Hasil studi inilah yang mengantar Gereja Katolik Roma dan Dewan Gereja Lutheran Sedunia (Lutherischer Weltbund) pada tanggal 31 Oktober 1999 di Augsburg menandatangani suatu pernyataan bersama yang dikenal sebagai Gemeinsamme Erklärung zur Rechtfertigungslehre (Pernyataan Bersama Mengenai Ajaran Pembenaran).


Martin Luther dalam hasil studi komisi gabungan itu dicatat pernah melancarkan tuduhan dan ancaman yang secara harafiah amat menyeramkan terhadap Gereja Katolik, tentang para pemimpin Gereja Katolik, dan tentang Konsili Trente di mana Luther sendiri sebagai salah satu penyulut api refomasi diundang untuk didengar langsung, tetapi ia menolak untuk hadir (dan membakar salinan surat hukuman yang dijatuhan kepadanya).

 

Luther: “man müsste allen katholischen Bischöfen die Zunge im Halse abschneiden.“[5]Tentu saja ini adalah ujaran kemarahan yang harus dibaca dan dipahami sebagai ujaran orang yang tersudut dan terbakar amarah dalam konflik tegangan tinggi pada saat itu! Bagi otoritas Gereja, terutama pada saat itu, bahasa seperti ini adalah provokasi dan pembangkangan yang sangat jauh dari tatakrama komunikasi dan konvensi kaul ketataan seorang imam kepada atasan dalam hirarki Gereja dan dalam konstitusi ordo.


Bagaimana Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan mengelola wacana historis yang penuh konflik ini dengan bahasa dan jiwa kegembalaan untuk merawat dan menjalin kembali sisa-sisa kekuatan oikumenis?

 

Dalam berbagai arsip kontemporer dan laporan media massa kita ketahui bahwa semangat dan kemauan merajut kembali kebersamaan itu memiliki substansi dan kualitas berbeda-beda pada berbagai level. Pada level pimpinan tertinggi Gereja (Vatikan dan Gereja Protestan) berjalan pola komunikasi yang sangat menjaga ‚tatakrama diplomatik’, selalu dalam semangat menjaga dan merawat jalan dan jembatan oikumene, dan berusaha menghindari sedapat mungkin pengajuan posisi teologis dengan ‚harga mati’ dalam tawar-menawar mencari formula rujuk kembali – tentu dengan sejumlah catatan.


Pada level Gereja nasional/lokal Jerman, misalnya, terdapat pola komunikasi yang berupaya menjaga keseimbangan hubungan yang harmonis antara sesama Gereja lokal – juga dengan sejumlah catatan. Hal yang mengejutkan justru terjadi pada level umat basis: di beberapa wilayah, umat Katolik dan Protestan Jerman tidak sabar menunggu sikap pimpinan Gereja Katolik dan Protestan yang dianggap lamban dalam memenuhi tuntutan mereka untuk sebuah praksis kehidupan oikumenis di mana ada keiikutsertaan tulus semua pihak dalam Perjamuan Kudus atau Perayaan Ekaristi Bersama. 

 

 

Gambaran Luther yang Lebih Positif dan Hubungan Vatikan dengan Gereja Protestan dalam Era Paus Johannes Paulus II

 

Perubahan sikap dan tindakan yang ‘revolusioner’ dari pimpinan Gereja Katolik Roma tehadap Gereja-Gereja Protestan untuk mengoperasionalkan salah satu mandat Konsili Vatikan II dalam dekrit Unitatis Redintegratio baru muncul dalam dua Paus yang tidak berasal dari negara-negara Eropa Barat yang selalu mendominasi pemilihan Paus dari masa ke masa. Latar belakang seorang Karol Josef Woytila (Paus Yohannes Paulus II)[6]dan Jorge Mario Bergolio (Paus Fransiskus)[7]adalah dimensi yang tidak bisa diabaikan dalam mengamati pandangan teologis, sikap, dan gaya kepemimpinan mereka dalam memimpin Gereja Katolik Roma.


Bagaimana Paus Yohannes Paulus II membangun komunkasi oikumenis dengan Gereja-Gereja Protestan di Jerman, terutama dengan Gereja Evangelis-Luhteran dan Gereja-Gereja Reformasi? Gaya bahasa yang dipilih Paus Yohannes Paulus II dalam menyapa masyarakat Jerman – baik Katolik maupun Protestan – dan terutama dalam menyapa para pimpinan Gereja Evangelis-Luhteran dan Gereja-Gereja Reformasi Jerman memberi gambaran kepada kita tentang kualitas komunikasi dalam bimbingan Roh Kudus yang bekerja menyalakan api oikumene dengan memakai api obor yang sudah terlebih dahulu disulut oleh ‘gerakan’ Refomasi Martin Luther.


Dalam pertemuan dengan para petinggi Dewan Gereja Protestan Jerman (Evangelische Kirche in Deutschland = EKD) di Mainz pada tanggal 17 November 1980, Paus Yohannes Paulus II mengawali pidatonya dengan pernyataan sejuk berikut ini:

 

“Saya teringat pada saat-saat seperti ini, ketika Martin Luther pada tahun 1510-11 datang ke Roma tidak saja sebagai seorang peziarah, tetapi juga sebagai seorang yang sedang dalam proses mencari (ein Suchender) dan seorang yang sedang mempertanyakan (ein Fragender). Hari ini saya datang ke tengah-tengah Anda, ke tengah warisan rohani Martin Luther; saya [juga] datang sebagai seorang peziarah. Kedatangan saya, agar dengan perjumpaan di dalam sebuah dunia yang terus berubah ini, kiranya dapat menjadi suatu tanda kita semua saling terikat dalam misteri-misteri sentral iman kita.”[8].


Dalam sambutan selanjutnya Paus Yohannes Paulus II lebih banyak mengangkat tokoh Reformator sebagai cara memberi penghargaan pada Martin Luther di tengah para pimpinan Gereja Protestan.

 

Paus Yiohannes Paulus II mengutip salah satu tulisan Luther tentang Surat Paulus kepada jemaat di Roma: “Surat ini adalah inti yang paling fundamental dari Perjanjian Baru dan sekaligus merupakan pernyataan evangelium yang paling lantang […] Di dalam ajaran Rasul Bangsa-Bangsa, kita disadarkan bahwa kita semua perlu bertobat. Tak ada kehidupan Kristen tanpa pengakuan dosa. Tak ada oikumene sejati tanpa pertobatan. Kita juga tidak mau saling menghakimi. Yang kita inginkan adalah saling mengakui kesalahan. Hal ini juga berlaku dalam kaitannya dengan keesaan: jadi semua kita ikut bersalah“[9].


Langkah saling mengakui kesalahan menuju oikumene yang tulus dan jujur itu dimulai dengan membentuk komisi bersama untuk mendalami doktrin Rechtfertigungslehre. Paus juga mengapresiasi warisan-warisan kekristenan yang masih mempersatukan kedua Gereja sambil berharap agar semua pihak tetap menyadari bahwa masih ada banyak faktor pemisah di antara kedua Gereja, Untuk itu jangan lagi ada tindakan yang memperdalam jurang pemisah.


Hal yang mengejutkan para pihak pada kesempatan itu ialah bahwa Paus mengajak semua pihak untuk melihat kembali harta kekayaan Gereja dalam ajaran Luther dalam ‘materi kuliah’ yang disampaikan di antara tahun 1516 dan tahun 1717 tentang Surat Paulus kepada jemaat di Roma. Luther mengajarkan bahwa “percaya dalam Kristus, melalui mana kita dibenarkan, tidak hanya mengandung pengertian bahwa orang cukup menyatakan [saya] percaya kepada Kristus, atau tepatnya, sekadar menyatakan [saya] percaya kepada pribadi Kristus saja, melainkan [harus sampai pada] percaya pada apa dan siapa itu Kristus. [dan jika ada yang bertanya] “apakah maksud semuanya itu? Luther menunjuk pada Gereja dan pewartaannya yang otentik.[10]


Dengan meletakkan fondasi dialog Katolik-Protestan yang merujuk pada pemikiran dasar teologis Martin Luther tentang Gereja dan Keselamatan, Paus Yohannes Paulus II berharap agar kedua Gereja tetap bersama-sama dalam dialog, bersama menemukan dan merawat jalan untuk melanjutkan dialog menuju penyatuan kedua Gereja yang terpecah selama ratusan tahun.

 

Dalam kunjungannya ke Jerman pada tahun 1996, Paus Yohannes Paulus II dalam khotbah ibadah oikumenis di katedral Paderborn pada tanggal 22 Juni 1996 kembali mengingatkan kiranya kini situasi sudah memungkinkan untuk memahami secara lebih baik pribadi dan pengaruh sang Reformator Jerman ini dan memperlakukannya secara lebih baik dan lebih adil.

 

Dalam pertemuan dengan wakil-wakil Evangelische Kirche in Deutschland (EKD) dan presiduim Arbeitkreiz Christliche Kirche in Deutschland (ACKdi Collegium Leonium Paderborn pada tanggal 22 Juni 1996, Paus Yohannes Paulus II mengapresiasi kesediaan pihak EKD mengkaji secara mendalam dokumen hasil studi bersama tentang Luther yang berjudul Lehrverurteilung – kirchentrennend?


Dalam suasana euforia yang bisa mengaburkan sikap kritis, Stiftung Lutherhaus di Eisenach[11], misalnya, menyisir semua pendapat tentang tokoh Martin Luther dari perspektif Katolik, mulai dari jaman Luther hingga jaman Paus Fransiskus. Terdapat perubahan besar pandangan dan sikap Gereja Katolik terhadap Luther. Namun jika dilihat dari rentang waktu perubahan sikap dan penilaian tersebut, nampaknya ada banyak hal mengganjal yang perlu didiskusikan lebih lanjut dengan kepala dingin.


Demikian, misalnya, Paus Yohannes Paulus II menempatkan Martin Luther sebagai „Lehrer im Glauben“ (guru dalam hal iman)[12]. Kardinal Reinhard Marx, Ketua Konferensi Uskup-Uskup Jerman pengganti Karl Lehmann, menyebut “Luther adalah seorang tokoh bombastis yang penuh rasa ingin tahu dan selalu mencari tahu, selalu berjuang keras, tekun dalam belajar dan berdoa: ia seorang filosof yang mengagumkan! Saya juga menaruh harapan pada para pastor paroki saya, juga para guru besar teologi kami agar mereka tidak mudah menyerah, tidak mudah putus asa, seperti seorang Luther, melainkan selalu berusaha mencari tahu dan berdoa, [untuk memahami] apa hubungan semua ini dengan [kehendak] Tuhan dan dengan teks Kitab Suci . [Saya kagum dengan] passion semacam ini![13]


Pernyataan Paus Fransiskus justru lebih berani: "Saya yakin bahwa niat Luther tidak salah. Dia adalah seorang reformator. Mungkin ada beberapa metode [perjuangannya] yang tidak benar, tetapi pada waktu itu, kita melihat bahwa Gereja tidak sedang memberi contoh nilai-nilai yang patut diteladani: ada korupsi, keduniawian, kelekatan pada uang dan kekuasaan. Oleh karena itu, ia telah melakukan protes. Dia cerdas dan berani maju ke depan untuk memberi argumentasi, mengapa ia lakukan semua itu. Hari ini kita, Protestan dan Katolik, sama-sama sepakat tentang doktrin pembenaran (Rechtfertigungslehre). Pada titik mahapenting ini, ia [Luther] tidak bersalah[14].


Uskup (Lutheran) D. Horst Hirschler, yang juga adalah Ketua Presidium Vereinigte Evangelisch-Lutherische Kirche in Deutschland (VELKD) dalam sambutannya dalam ibadah oikumenis di Katedral Hohen dekat Paderborn pada kesempatan yang sama berpendapat bahwa Gereja-Gereja telah berada dalam suatu kesepahaman tentang Grundwahrheit (kebenaran-kebenaran dasar) iman kepercayaan bersama dalam suatu jalan bersama Protestan dan Katolik.


Jika Paus Johannes Paulus II dalam sambutannya di hadapan wakil-wakil Gereja Protestan pada pertemuan tahun 1980 hampir seluruhnya berbicara tentang Martin Luther sebagai tokoh reformasi dalam gambaran yang sangat positif, maka Landesbischof Dr. Klaus Engelhardt, Ketua Presidium EKD dalam sambutan pada pertemuan antara Paus Johannes Paulus II dengan wakil-wakil EKD dan Presidium ACK  di Collegium Leoninum di Paderborn pada Hari Sabtu, 22 Juni 1996, memulai sambutannya dengan mengutip kembali kata-kata Paus Yohannes Paulus II di dalam Ensiklik Ut unum sint, ensiklik yang dikeluarkan Vatikan pada tanggal 25 Mei 1995: „Oikumenisme sejati adalah sebuah hadiah kemurahan dari kebenaran.“ Pola komunikasi saling sapa dengan meminjam wacana milik partner bicara adalah sebuah pola komunikasi yang amat diplomatis: meminjam senjata lawan untuk merangkul lawan.


Menurut Klaus Engelhardt, Martin Luther yang pada masa lalu menjadi penyebab perpecahan Gereja, itu juga karena ia menuntut kebenaran. Dewasa ini orang mulai membedakan antara keinginan dasar reformatoris seorang Luther, dan jalannya perpecahan Gereja. Tentang garis pemisah di antara kedua gereja, dipandang dan diakui, bahwa Luther telah mermbuka sebuah akses jalan baru ke dalam inti yang paling fundamental dari iman kristiani.

 

Uskup Klaus Engelhardt atas nama Gereja-Gereja Protestan menyatakan akan sangat berharap jika setelah melihat hasil studi bersama dengan naman “Lehrverurteilung – kirchentrennend? ini semoga hukuman kepada Luther yang dijatuhkan pada abad 16 itu tidak lagi membebani hubungan antara Gereja-Gereja pada hari ini.

 

 

Tentang Ekaristi/Perjamuan Kudus Bersama

 

Perayaan bersama Perjamuan Kudus (Protestan) dan Ekaristi (Katolik) adalah tema yang paling dinantikan oleh umat kedua Gereja di Jerman dalam berbagai perjumpaan oikumenis. Desakan untuk menyelenggarakan Perjamuan Kudus Bersama sebagai syarat oikumene paripurna terutama datang dari pimpinan Gereja Evangelis-Lutheran dan dari berbagai kelompok inisiaif umat basis pada kedua Gereja. Namun demikian, harapan akan adanya perjamuan Kudus bersama nampaknya masih jauh mengingat adanya sejumlah ganjalan dogmatis seputar pengakuan status Gereja Protestan sebagai Gereja penuh masih terganjal oleh dokumen Diminus Iesus dari Vatikan dan berbagai dampak derivatif lain. 


Menurut Uskup (Luthran) Horst Hirchler, Gereja Evangelish-Lutheran sudah mendeklarasikan undangan terbuka untuk Perjamuan Kudus bagi semua orang Kristen yang sudah dibaptis dari konfesi lain. Dengan cara ini Gereja Protestan hendak menunjukkan bahwa kubu Protestan tidak lagi menganggap sisa-sisa masalah perbedaan doktrin teologis di masa lalu sebagai sesuatu yang terus memisahkan Gereja-Gereja, di mana ada orang masih harus dikecualikan dari meja Perjamuan Kudus.

 

Wir Sind Die Kirche dan Pengaruh Reformasi Luther dalam Gereja Katolik

 

Hidup bertetangga yang berkualitas antara umat Katolik dan Protestan melahirkan proses saling belajar. Misalnya, ada teolog Protestan yang menganggap keberadaan lembaga Gereja seperti adanya Paus dan lembaga kepausan yang mengontrol disiplin bertelogi sepertinya diperlukan untuk menjamin kesatuan Gereja. Tanpa ada ‘disiplin berteologi, semua pendeta dan teolog bisa membuat tafsiran sendiri-sendiri sehingga membingungkan umat. Sebaliknya, umat Katolik di Jerman dan Austria justru banyak belajar dari tradisi demokrasi dalam Gereja-Gereja Protestan sebagai buah reformasi Luther.


Salah satu buah pelajaran dari iklim demokrasi dalam Gereja Potestan adalah lahirnya gerakan yang kemudian menjadi lembaga kaum awam dengan nama Wir sind die Kirche (kami/kita adalah Gereja – lawan dari model Gereja hirarkis, Gereja milik pastor, uskup dan paus). Gerakan ini terinspirasi oleh gerakan kaum awam di Austria dengan nama Kirchenvolks-Begehren[15].


Salah satu dampak dari gerakan-gerakan kaum awam tersebut adalah munculnya dorongan amat kuat pada Gereja di akar rumput untuk menyelenggarakan Perjamuan Kudus Bersama dengan umat Katolik sebagai syarat oikumene paripurna. Namun sampai saat ini keinginan tersebut belum mendapat lampu hijau dari otoritas Gereja Katolik.

 

Walaupun demikian, secara sporadis dalam berbagai kesempatan oikumene nasional, mucul sejumlah imam Katolik yang terang-terangan menangkap aspirasi dan kerinduan umat Katolik dan Protestan di lapis bawah rentang perlu adanya Perjamuan Kudus/Ekaristi bersama. Hal ini mulai nampak dalam berbagai diskusi dalam Evangelische Kirchentagdi Hamburg pada tanggal 14 - 18 Juni 1995 dan Ökumenische Kirchentag pertama di Berlin pada ttanggal 28 Mei - 1 Juni 2003, dan Ökumenische Kirchentag kedua di München pada tanggal 12 – 16 Mei 2010[16].


Baik dalam Evangelische Kirchentag di Hamburg (1995) maupun dalam Ökumenische Kirchentag pertama di Berlin, kelompok-kelompok inisiatif awam ini sudah melangkah jauh menyelenggarakan Perjamuan Kudus bersama di luar agenda resmi hajatan besar KirchentagPada perayaan Ökumenischen Kirchentag pertama tahun 2003 di Berlin, mereka menyelenggarakan sejumlah forum besar-besaran dengan judul „ChristIn-Sein ohne Heiligenschein“ yang menghadirkan Uskup Gaillot, teolog Hans Küng, dan banyak aktivis Kristen di podium diskusi.

 

Pada saat itu Kelompok kerja oikumene (Arbeit Kreis Ökumene), yang terdiri dari Wir sind KircheInitiative Kirche von unten, dan Evangelische Kirchengemeinde Prenzlauer Berg-Nord) menginisiasi dan mempersiapkan Ibadah bersama dengan fomula saling mengundang sebagai tuan rumah dan tamu dalam perayaan Ekarisri (Katolik) dan Perjamuan Kudus (Protestan) di Gereja Getsemani Berlin – sebuah acara yang terpaksa dilakukan di luar program resmi Ökumenischen Kirchentag.


Tidak lama menjelang pengumuman Ensiklik tentang Ekaristi dari Vatikan, ketiga institusi itu bergabung dalam Arbeit Kreis Ökumene menerbitkan Thesen zur eucharistischen Gastfreundschaft (Tesis Mengenai Kesediaan Saling Mengundang dalam Perayaan Ekaristi). Sebuah jajag pendapat oleh majalah DER SPIEGEL pada bulan Februai tahun itu menyimpulkan bahwa sebagian besar publik menginginkan segera diwujudkan kerinduan umat kedua Gereja untuk merayakan Perjamuan Kudus bersama.

 

Namun dua imam Katolik yang ikut serta di dalam ibadah oikumenis dengan Perjamuan Kudus Bersama di Gereja Getsemani itu mendapat hukuman keras. Walau menuai protes keras dari publik, Prof. Dr. Gotthold Hasen Hasenhüttl dibebas-tugaskan dari jabatannya oleh Uskup Trier, Dr. Reinhard Marx. Hak mengajarnya sebagai guru besar teologi Katolik pun dicabut. Imam Katolik dari Eichstatt, Bernhard Kroll, diberhentikan sementara dari jabatanya sebagai imam (lalu belakangan diangkat kembali).

 

Dominus Iesus adalah Problema Terbesar dalam Dialog Katolik-Protestan.

 

Sepuluh tahun sesudah pemakluman dokumen Dominus Iesus (6 Agustus 2000), dokumen tersebut oleh kalangan Protestan dianggap sebagai hambatan serius dalam upaya dialog antara kedua Gereja. Bagi kalangan Protestan, Vatikan menganggap Gereja Protestan bukan gereja dalam arti yang sebenarnya. Gereja Protestan tidak lebih dari ‘persekutuan atau perkumpulan kristiani[17]. Preses EKD Manfred Kock menyebut terbitnya dokumen Dominus Iesus sebagai sebuah kesengajaan dan bukan sebuah kelalaian, sehingga menjadi langkah mundur dari suatu kebersamaan oikumenis dalam keberbedaan yang harmonis. 


Walau demikian, Karl Lehmann, Uskup Mainz, mencoba mengatasi ketegangan itu dengan mengatakan bahwa mungkin Roma sedang mengalami keterbatsan waktu dan karena itu secara tergesa-gesa mengeluarkan pernyataan itu. Bagi Lehmann, di sana tetap ada ruang untuk secara teologis menghormati Gereja-Gereja lain sebagai Gereja. Sebagaimana Manfred Kock, banyak teolog, juga uskup-uskup dari Gereja Protestan dan Anglikan serta Dewan Gereja Evangelish-Lutheran sedunia dan Dewan Gereja Protestan Reformasi Sedunia mengajukan protes keras.

 

Moderasi Kemarahan ala Komunitas Akar Rumput Oikumenis Thüringen

 

Berbagai upaya dilakukan untuk meredahkan ketegangan antara Vatikan dan Gereja-Gereja Protestan di Jerman., seperti upaya-upaya moderasi yang sudah dilakukan oleh Uskup-Uskup Katolik Jerman. Umat Katolik dan Protestan di tingkat akar rumput memiliki cara sendiri dalam meredam konflik dan berupaya saling menenangkan. Hal itu yang terjadi pada komunitas oikumenis di wilayah Thüringen yang dapat dijadikan model pembelajaran dan pendewasaan gerakan oikumene[18].


Di wilayah itu sebuah kelompok kontak oikumenis yang sudah berusia 27 tahun bertemu secara teratur sesuai mandat masing-masing Gereja. Para anggota kelompok kontak ini mewakili Gereja Protestan wilayah Sachsen, Gereja Evangelish-Lutheran di Thüringen, dan Keuskupan (Katolik) Erfurt. Pada tanggal 18 September 2000 dalam percakapan oikumenis mereka saling berbagi informasikan tentang iritasi dan kekecewaan yang ditimbulkan oleh pemakluman dokumen Dominus Iesus. Semua pihak sepakat tetap melanjutkan dialog-dialog oikumenis tanpa terganggu oleh isu dokumen tersebut.


Beberapa butir kesepakatan penting – bahkan sangat bernilai strategis dan bijaksana dalam konteks merawat jalan oikumene – adalah bahwa para pihak sepakat agar di dalam lingkup Gereja masing-masing orang tidak perlu membicarakan masalah/urusan Gereja lain. Sebaiknya semua pihak perlu mencari kesempatan berdialog secara langsung dengan partner dari Gereja lain untuk mengetahui duduk persoalan yang sedang dibicarakan. Para pihak juga menyepakati beberapa prinsip dasar merawat kebersamaan yang sudah dicapai, dan bersama mencari jawaban atas semua persoalan/pertanyaan yang belum terjawab. Hanya dengan demikian Gereja-Gereja secara bersama-sama berjalan berpegangan tangan semakin mendekat kepada tujuan kesatuan umat Kristen[19].

 

Antara Kebersamaan Gereja Bersaudara dan Ketaatan pada Vatikan

 

Gereja Katolik Jerman dalam banyak hal dihadapkan pada dilema antara menjaga hubungan baik Gereja Katolik dan Gereja Protestan Jerman sebagai sesama Gereja Bersaudara (Sisterkirche) pada level nasional dan lokal, dan ketaatan hirarkis pada otoritas Gereja di Vatikan. Masalah oikumene dan insiden dokumen Dominus Iesus memperlihatkan kepiawaian pimpinan Konferensi Uskup-Uskup Jerman dalam berdiplomasi merawat kebersamaan dalam pola balance act yang cerdas. Dua kasus di bawah ini melukiskan bagaimana pihak Gereja Katolik bermain cantik dalam merawat kebersamaan oikumenis dengan Gereja Protestan tanpa mencederai ketaatan kepada Vatikan.

Karl Lehmann[20], Uskup Mainz, adalah orang Katolik pertama yang mendapat penghargaan Martin-Luther Medaille karena berbagai kegiatannya yang merawat hubungan baik dengan Gereja-Gereja Protestan. Vatikan kadang menganggap langkah dan keterlibatan Lehmann terlalu jauh keluar dari garis Vatikan, misalnya  dalam masalah oikumene maupun masalah-masalah fundamental etika dan moral Gereja sebagai dilema yang dihadapi umat Katolik di dalam negeri Jerman sehingga dibutuhkan ‘fatwa’ dari otoritas Gereja Katolik Jerman.


Salah satu masalah krusial yang dihadap umat Katolik Jerman pada tahun 90-an adalah pelayanan pastoral bagi perempuan, khususnya perempuan yang berada dalam dilema etika, moral, dan hukum terkait masalah kehamilan yang tak dikehendaki, dan perlu adanya lembaga konsultasi resmi yang diakui oleh Gereja dan negara.

 

Pada waktu itu Gereja-Gereja Protestan dapat membuka ‘Beratungstelle’ (pusat-pusat konsultasi) bagi perempuan atas biaya pemerintah. Sebaliknya Vatikan menginstruksikan agar Gereja Katolik Jerman segera keluar dari program tersebut. Program tersebut di mata Vatikan dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip moral Gereja Katolik mengenai keluarga berencana, dan lain-lain. Artinya umat Katolik Jerman, terutama perempuan, tidak dapat memperoleh pelayanan konsultasi pastoral, sosial, dan medis dalam masalah kehamilan dari sebuah lembaga konsultasi Katolik.


Dalam situasi seperti itu Uskup Lehmann, baik sebagai uskup Mainz, maupun sebagai Ketua Konferensi Uskup-Usup Jerman dihadapkan pada dilema antara ketaatan imamat kepada pimpinan hirarki Gereja Roma di Vatikan, dan keharusan sebagai gembala untuk berpihak pada nasib umat Katolik yang membutuhkan kepastian pelayanan Gereja dalam bentuk penyelenggaraan jasa konsultasi bagi perempuan yang sedang berada dalam situasi konflik, terutama karena kehamilan yang tidak dikehendaki[21].

 

Dan drama solidaritas kedua Gereja itu pun terjadi pada hari penganugerahan Martin-Luther Medallien oleh Gereja Evangelis-Lutheran Jerman kepada Kardinal Lehmann pada tanggal 31 Oktober 2016. Anugrerah medali tersebut diserahkan oleh Presiden Dewan Gereja Evangelis Jerman Henrich Bedford-Srihm bertempat di Marienkirche, Berlin.

 

Pemilihan tempat penganugerahan medali tersebut memiliki nilai simbolik harapan untuk pernyatuan masyarakat Jerman[22]. Dan Lehmann adalah orang Katolik pertama yang menerima Martin-Luther Medallien dari Gereja Protestan diharapkan menjadi motor penyeru semangat penyatuan Gereja Katolik dan Protestan di Jerman.


Menghadapi tekanan Vatikan agar Gereja katolik Jerman keluar dari program penyediaan Beratungstelle, Lehmann memastikan kepada mitra Protestan-nya bahwa Gereja Katolik Jerman dan Gereja Protestan tetap bersama-sama: “Wir bleiben zusammen"– kita masih tetap bersama.


Bagi Lehmann, tidak ada alternatif lain, di negeri sang Reformator, di mana kedua Gereja sama-sama kuat, harus pula sama-sama bertanggungjawab merawat sebuah hidup bertetangga yang harmonis dan sama-sama aktif terlibat di ruang publik untuk melayani kepentingan domba-domba.

 

Selama bertahun-tahun Lehmann berjuang agar kedua Gereja sama-sama tetap bekerjasama dalam masalah konsultasi bagi perempuan-perempuan hamil yang bermasalah. Mayoritas Uskup Jerman berada di belakang Lehmann. Namun kemudian mereka harus kalah menghadapi kalangan konservatif seperti Uskup Agung Köln, Joachim Meisner.

 

Pada tahun 1994 Lehman juga menerima Karl-Barth Prize, penghargaan yang memakai nama teolog Protestan terpenting di abad 20. Ia mendapat penghargaan tersebut karena ia bekerja mempertemukan umat kedua Gereja, Katolik dan Protestan, mulai dari puncak pimpinan Gereja hingga jemaat di desa-desa. 

 

Merawat Etika Kebersamaan Gereja Lokal

 

Pada tahun 1992 Sinode Gereja Evangelis-Lutheran Wilayah Utara Sungai Elbe memilih Maria Jepsen sebagai uskup Gereja Lutheran pertama di dunia. Sampai menjelang hari pentahbisannya, 30 Agustus 1992, kalangan teolog konservatif Protestan Jerman masih menyatakan penolakan terhadap pentahbisan seorang perempuan menjadi Uskup di lingkungan Gereja Lutheran.

 

Vatikan mengirim sinyal kuat agar Gereja Katolik Jerman jangan ikut ambil bagian dalam upacara pentahbisan tersebut. Keikutsertaan Gereja Katolik dalam pentahbisan seorang Uskup perempuan – sekalipun itu dalam lingkungan bukan-Katolik - dianggap bisa memiliki preseden panafsiran bahwa Gereja Roma Katolik merestui dan dengan demikian melegitimasi seorang perempuan menjadi imam. 

Namun uskup Auxialiaris Hamburg, Hans-Jochen Jaschke[23], mengambil sikap yang tidak sejalan dengan keinginan Vatikan. Bagi Jaschke, Vatikan boleh menyatakan sikap, tetapi Gereja Katolik setempat (Keuskupan Hamburg) lebih tahu apa yang harus dilakukan sebagai sesama Gereja bersaudara di tingkat lokal. Jaschke yang oleh media setempat disebut sebagai Uskup dan teolog pelintas batas[24]memutuskan dengan rasa percaya diri yang tinggi pergi menghadiri upacara pentahbisan Maria Jepsen menjadi Uskup perempuan pertama Gereja Lutheran sedunia. Sejak itu Jaschke selalu tampil bersama dengan Maria Jepsen sebagai partner dalam banyak hal yang menuntut tanggapan bersama antara kedua Gereja, terutama dalam hal oikumene.


Kedua Gereja setempat sudah banyak menemukan jalan keluar atas masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan ajaran Gereja. Dalam hal pernikahan oikumenis, misalnya, pihak pengantin Protestan sudah boleh ikut menerima Komuni Kudus Katolik.

 

Menyangkut jabatan diakon bagi perempuan, Jaschke mengatakan bahwa Gereja katolik masih dalam proses (bahasa halus untuk mengatakan: belum waktunya). Gereja Katolik saat ini sungguh menyadari bahwa persamaan hak antara laki-laki dan perempuan adalah masalah hak azasi manusia. Oleh karena itu tidak boleh terjadi laki-laki memonopoli kekuasaan di dalam Gereja. Pilihan frasa monopoli kekuasaan dan bukan diskriminasi adalah aspek yang penting untuk dicermati.


Jaschke juga menyebutkan bahwa adanya pastor/pendeta perempuan di dalam Gereja Protestan baru terjadi sejak tahun 30an dan 40an. Baru pada tahun 1992 Maria Jepsen terpilih menjadi Uskup perempuan pertama dari Gereja Lutheran sedunia. Kata Jaschke: "Ich bin und bleibe mit ihr gut befreundet und schätzte sie in ihrem Amt."[25] (Saya saat ini dan seterusnya akan tetap bersahabat dengan dia dan akan selalu menghormati dia dalam jabatanya).


Pada hari Rabu tanggal 3 September 2014, bertempat di Katholische Akademie Hamburg berlangsung sebuah diskusi oikumenis tentang Peringatan Reformasi pada tahun 2017. Pertemuan itu juga bertepatan dengan ulang tahun ke 25 jabatannya sebagai uskup. Di antara sekitar 400 tamu undangan yang hadir, selain Walikota II Hamburg, Dorothee Stapelfeldt, juga ada Ketua Parlamen Negara Bagian Schleswig-Holstein, Klaus Schlie, juga Uskup Evangelish Gothart Magaard (Schleswig) dan Uskup emeritus (Evangelis-Lutheran) Karl-Ludwig Kohlwage (Lübeck).

 

Khotbah dalam ibadah perayaan tersebut berlangsung di Gereja Klein Michel disampaikan oleh seorang uskup Perempuan dari Gereja Protestan, Bischofin Kirsten Fehrs. Kirsten Fehrs: "Für die Ökumene hast Du ein weites Herz"[26](= untuk Oikumene Engkau mempunyai hati yang sangat lapang). O, wie schön! (0, betapa indah!)

 

 

Hubungan Gereja Katolik dan Gereja Protestan di Maluku: Identitas Bawah Sadar

 

Apa yang bisa dipelajari dari hubungan Gereja Katolik Roma dan Gereja-Gereja Protestan di Jerman? Dalam pengamatan dan pengalaman saya yang sangat terbatas, antara tahun 1980an hingga pecah Konlik Maluku pada tahun 1999, Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Protestan di Maluku adalah dua “mashab kegembalaan” yang sibuk dengan tugas mengawal domba-domba Kristus di padang rumput di dataran yang sama tetapi terpisah pagar, penuh dengan humor prasangka ‘saling curi domba’ atau ‘domba loncat kandang’.


Kejadian-kejadian seperti ini sering membuat para gembala pada kedua pihak harus garuk-garuk kepala. Bahkan dalam lingkup internal Gereja masing-masing para gembala masih cenderung memandang umat sebagai umat saya dan bukan umat Tuhan.


Cara pandang seperti itu sangat berdampak pada pola hubungan Gereja-Gereja di Maluku. Rivalitas dalam pewartaan masih memerlukan proses panjang untuk menjadi pola kemitraan dalam pelayanan dan evangelisasi.

 

Saya mengenal almarhum Uskup APC Sol, MSC yang memiliki komunikasi yang sangat konstruktif dan privat dengan Ketua Synode (Uskup) Gereja Protestan Maluku, Rev. Bram Soplantila. Tetapi hubungan baik itu tidak merambat turun menjadi hubungan antar-Gereja, gagal menjadi hubungan dan kerjasama operasional antara pastor (Katolik) dengan pendeta (Protestan), dan tidak terdengar bunyinya menjadi kerjasama antara umat Katolik dan umat Protestan di Maluku.

 

Masing-masing pihak masih terlalu sibuk alias ‘tanam kepala’ (karena itu tidak saling menengok) dalam mengurus kandang masing-masing, menanam rumput di lahan masing-masing, dan membawa kawanan domba masing-masing ke mana mereka mau. Kalau saja mereka bisa bekerjasama, tentu mereka juga bisa saling belajar merawat padang gembalaan yang sama, menjadikan Maluku sebagai padang rumput untuk domba-doma bersama, domba-domba Yesus Sang Gembala Agung, sesuai pesan Mazmur Daud 23:1-6:

TUHAN adalah gembalaku, takkan kekuranganaku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.

 

Yogyakarta, 11 Juli 2017. RBB

 



[1]Konsili VatikanII (1962-1965), adalah sebuah Konsili Oikumenis ke-21 dari Gereja Katolik Roma. Konsili ini dibuka oleh Paus Yohanes XXIII pada tanggal 11 Oktober 1962 dan ditutup oleh Paus Paulus VI pada tanggal 8 Desember 1965.

[2]Paus Leo X mengeluarkan Decet Romanum Pontificem atau bulla kepausan untuk memutuskan hubungan total terhadap Dr. Martin Luther. Dekret ini dikeluarkan menyusul dekret sebelumnya, Exsurge Domine yang dikeluarkan pada tahun 1520 dan tidak diindahkan oleh Martin Luther. Martin Luther bahkan membakar copy dokumen ini pada tangfal 10 Desember 1520 di depan gerbang gereja Elster Wittenberg sebagai bentuk penolakannya terhadap ultimatum Paus Leo X.

[4]Dalam teologi Katolikinfalibilitas kepausan adalah dogma yang menyatakan bahwa, dengan kuasa Roh Kudus, Sri Paus dilindungi dari (bahkan) kemungkinan membuat kesalahan ketika ia secara resmi menyatakan atau mengumumkan kepada Gereja mengenai sebuah ajaran dasar tentang iman. https://id.wikipedia.org/wiki/Infalibilitas_kepausan).

[5]= lidah para uskup itu harus dipotong dari tenggorokan mereka.

[6]Lahir di Wadowice – Polandia pada tanggal 18 Mei 1920. Menjadi Paus dari tahun 1978-2005 dan menjadi Paus ke 264.

[7]Lahir di Buenos Aires – Argentina pada tanggal 17 Desember 1936 dan menjadi Paus ke 266.

[8]Sambutan Paus Johannes Paulus II kepada Dewan Gereja-Gereja Protestan (Rat der Evangelischen Kirchen), Mainz, 17 November 1980.

[9]Ibid.

 

[10]ibid.

[11]Stiftung Lutherhaus Eisenach – Ketzer, Spalter, Glaubenslehrer – Luther aus katholischer Sicht – Ausgewählte Luther-Zitate aus der Sonderaustellung

[12]Papst Johannes Paul II. über Martin Luther, 1980) Stiftung Lutherhaus Eisenach op.cit

[13]Reinhard Kardinal Marx, 2016), Stiftung Lutherhaus Eisenach, op.cit

[14]Papst Franziskus, 2016. Stiftung Lutherhaus Eisenach. Op.cit.

[15]Kirchenvolks-Begehren – adalah sebuah kelompok inisiatif dari bawah - mula-mula muncul di Austria pada tahun 1995 dalam bentuk pengumpulan tandatangan. Kelompok inisiatif ini menuntut suatu pembaruan di dalam Gereja Katolik Roma melalui tindakan-tindakan reformasi nyata.  Penyebab langsung munculnya gerakan ini adalah tuduhan pelecehan seksual terhadap remaja yang dilakukan oleh mantan Uskup Agung Wiena, Groer. Gerakan ini dimotori oleh Thomas Plankensteiner dan Martha Heizer bersama tema melancarkan aksi dengan nama „für eine grundlegende Erneuerung der Kirche Jesu“ (untuk suatu pembaruan mendasar Gereja Yesus) dengan lima tuntutan, tertama penghapusan kesenjangan antara awam dan kelrus, persaman hak laki-laki dan perempuan dalam jabatan-jabatan gereja, kebebasan memilih bentuk hidup selibat atau non-selibat bagi pata imam, perubahan cara pandang yang lebih positif terhadap masalah seksualitas dan kehamilan, serta perlunya lebih banyak kabar gembiraketimbang kabar ancaman

[16]Sesuai agenda, pada tanggal 12-16 Mei 2021 akan diselenggarakan Ökumenische Kirchentagketiga di Frankfurt am Main.

[17]

http://www.evangelisch.de/inhalte/101487/03-09-2010/vor-zehn-jahren-veroeffentlichte-vatikan-dominus-iesus

[18]Die Ökumenische Kontaktgruppe in Thüringen zur Erklärung "Dominus Jesus" der Kongregation für die Glauben udn Lehre.http://www.bistum-erfurt.de/front_content.php?client=2&lang=3&idcat=1838&idart=8203.

[19]Pernyatan bersama itu ditandatangani di Erfurt pada tanggal 18 September 2000. oleh semua wakil unsur Ökumenische Kontaktgruppe in Thüringen.

[20]Karl Kardinal Lehmann, lahir pada tanggal 16 Mei1936di Sigmaringen, Uskup emeritus Keuskupan Mainz. Ia menjabat Ketua Konferensi Uskup-Uskup Jerman dari tahun 1987 sampai 2008, dan diangkat menjadi kardinal oleh Paus Yohannes Paulus II pada tahun 2001.

[21]Schwangerschaftskonfliktberatung

[22]Di gedung gereja itu tiga tahun setelah pembangunan tembok pemisah kota Berlin, Martin Luther King menyerukan agar masyarakat Jerman tidak boleh menyerah dalam memperjuangkan penyatuan kembali Jerman.

[23]Hans-Jochen Jaschke yang saat itu mengemban banyak tugas antara lain menjadi Wakil Uskup untuk masalah ajaran iman, masalah oikumene, juga masalah gereja, kebudayaan dan media, dan belakangan kemudian menjadi anggota Komisi Oikumene Konferens Uskup-Uskup Jerman dan Ketua subkomisi untuk dialog antara agama.

[24]https://www.welt.de/print-welt/article478797/Ein-Kirchenmann-der-Grenzen-ueberwindet.html

[25][25]https://www.welt.de/print-welt/article478797/Ein-Kirchenmann-der-Grenzen-ueberwindet.html

[26]https://www.nordkirche.de/nachrichten/nachrichten/detail/streitbarer-brueckenbauer-weihbischof-jaschke-wird-75.html